Ketika saya kelas 6 SD, Papa saya yang bekerja di sebuah perusahaan BUMN di Jakara, mendapat mutasi kerja ke Jayapura. Sehingga diputuskan saya dan keluarga akan ikut ke Jayapura, dan akan melanjutkan SMP disana.
Singkat cerita kami berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta menggunakan pesawat selamat 8 jam. Tujuannya kami ialah Bandara Sentani, Jayapura.
Setibanya di Bandara Sentani saya tertegun melihat sekeliling. Melihat banyaknya orang berkulit hitam pekat. Mereka semua orang Papua. Saya belum pernah bertemu orang Papua sebelumnya, jadi ini adalah kali pertama saya. Tak bisa dipungkiri bahwa pandangan masyarakat awam yang tidak pernah menginjakkan kaki ke tanah Papua pasti ialah bahwa Papua kota yang tidak aman karena daerah perang. Begitu juga dengan saya.
Namun pemikirin negatif itu terhapuskan ketika kami sekeluarga dari bandara menuju penginapan disajikan hamparan pemandangan yang tak pernah saya dapatkan di Jakarta, Danau Sentani dan pegunungan.
Penginapan kami berada di kota Jayapura yang cukup jauh dari Sentani. Lama perjalanan dari bandara Sentani ke kota Jayapura kurang lebih satu setengah jam dengan jalan yang berkelok-kelok.
Ketika sudah berada dalam kota Jayapura, sudah mulai terlihat gedung perkantoran yang tidak terlalu tinggi, megingat Jayapura daerah rawan gempa. Saya menikmati perjalanan dengan melihat ke jalan-jalan sekitar dari kaca. Tiba-tiba pandangan saya terpusat pada bercak-bercak merah di bahu jalan. Bercak ini tidak hanya pada satu tempat, tapi sepanjang bahu jalan.
Pikirkan pertama saya adalah bercak itu adalah darah korban perang, ya, pikiran saya kembali kepada pikiran orang awam.
Pada saat itu saya tak langsung bertanya kepada papa dan hanya menyimpan dalam pikiran sendiri, karena tidak mau membuat mereka menjadi khawatir.
Seminggu kemudian setelah saya sembuh dari sakit karena sulit beradaptasi dengan cuaca, kami sekeluarga memutuskan untuk berkeliling kota. Kami pergi ke sebuah mall kecil dengan nama "Abepura Mall" untuk membeli perlengkapan rumah tangga dan keperluan sehari-hari.
Saya terkejut ketika mengetahui bahwa Mall dilingkungan saya di Jakarta ada 3 dengan jarak yang berdekatan, sedangkan di Jayapura jarak antar Mall jauh.
Tidak hanya itu ketika membeli beberapa kebutuhan sehari-hari, saya terbiasa membaca kadaluarsa dan harga. Saya terkejut kembali melihat harga yang sangat berbeda dengan harga di Jakarta. Saya belum mengerti sehingga terheran-heran dan menganggap toko itu korupsi.
Saya melihat perbedaan yang sangat amat mengejutkan, dan membuat saya sangat asing dan sangat merindukan kota Jakarta.
Setelah selesai berbelanja kami membawa palstik besar dan banyak menuju ke parkiran mobil. Ketika di mobil, saya melihat 2 orang lelaki sedang berbicara dengan mulut berlumuran darah berwarna merah. Entah mereka berkelahi atu adu jotos tapi itu mengerikan. Bukan hanya itu dijalan yang mereka pijaki juga terdapat bercak-bercak dan tetesan darah. Ketakutan saya berada dipuncak.
Saya berteriak dan menangis meminta pulang secepatnya. Kedua orang tua saya tentu bingung dan berpikir mungkin saya hanya sedang sedih karena rindu. Ya itu sebagian kecilnya.
Sesampainya dipenginapan saya menceritakan apa yang telah menyita pikirkan selama seminggu itu.
Respon mereka ialah tersenyum, kemudian tertawa baru menjelaskan.
Saya pun mengerti...
Harga barang di mall tidaklah dimainkan, memang mahal. Mengapa? Karena produksinya bukan di Jayapura, sehingga perlu ongkos pengiriman hingga bisa sampai di Jayapura. Jadi, yang membuatnya mahal ialah karena pengirimannya
Ketakutan saya pun terjawab.
Bercak-bercak darah dijalan dan darah dimulut kedua lelaki didekat mall, bukanlah darah. Itu pinang dan kapur yang dimakan.
Orang Papua menggunakan pinang dan kapur untuk menguatkan gigi. Ketika dicampurkan hasilnya ialah merah seperti darah.
Bercak-bercak merah dibahu jalan adalah ludah yang dibuang. Ludah dari kapur dan pinang memang sulit dibersihkan. Kurangnya kepedulian akan kebersihan dan kesehatan dalam kehidupan masyarakat Papu. Kebanyakan dari mereka masih membuang ludah sembarangan, dan mengakibatkan jalanan kotor.
Itu adalah pengalaman saya mengalami Culture Shocked di Jayapura.
Jayapura tidak seburuk yang orang-orang pikirkan.
Jayapura lebih dari itu.
Setelah menjalani kehidupan di Jayapura, saya mendapatkan begitu banyak pengalaman berharga yang tidak mungkin saya dapatkan di Jakarta.