Menari
mungkin merupakan hal yang identik bagi kaum wanita dengan lengak-lenggok dan
gemulai tubuh. Saya mungkin tidak dapat dikategorikan sebagai penari, tapi menari
sudah menjadi bagian hidup saya. Saya mulai menari sejak berusia lima tahun.
Pada saat itu tarian yang ditampilkan ialah tarian untuk memeriahkan ibadah
gereja, acara sekolah, dan acara 17an di komplek. Berdiri di depan banyak
orang, menggunakan kostum yang mencolok, dan menjadi pusat perhatian, merupakan
kesenangan dalam menari yang saya alami pada saat itu.
Pada
kelas empat SD saya berpindah sekolah, yang salah satu mata pelajarannya ialah
seni tari. Pelajaran ini merupakan pelajaran yang saya sangat senangi hingga
saya lulus. Tari yang dipelajari merupakan tarian tradisional, yang sangat berbeda
dengan tarian yang saya tekuni dahulu yaitu tarian modern. Tapi kesenangan saya
pada dunia tari membuat saya berlatih sepenuh hati dan memiliki impian untuk
menjadi instruktur tari pada olahraga bersama hari Jumat. Dengan berbangga hati
saya tepilih menjadi instruktur tari ketika saya berada di kelas enam.
Setelah
lulus SMP saya harus mengikuti orang tua pindah ke Jayapura, Papua karena
pemindahan kerja. Hal ini merupakan penyesuaian yang sangat besar yang tentu
berdampak dalam kehidupan saya. Salah satunya saya tidak punya tempat untuk
menari. Sekolah tempat saya belajar tidak menyediakan pelajaran maupun
ekstrakulikuler menari yang membuat kecewa. Hingga saya beribadah bersama
keluarga digereja sekitar rumah, dan saya diminta untuk menari tamborin pada
saat ibadah. Ini merupakan hal baru untuk saya, karena bukan hanya menggerakan
tubuh sesuai irama namun juga harus menepuk tambourine yang disesuaikan dengan
gerakan. Latihan membutuhkan waktu kuran lebih tiga bulan hingga akhirnya saya
dinyatakan boleh tampil menari dalam ibadah. Kali ini pakaian yang saya kenakan
tidak mencolok, dan tujuan saya bukannlah menjadi pusat perhatian, melainkan
belajar melayani dan rendah hati dan tetap dalam perasaan senang yang sama
dalam menari. Saya pun belajar bahwa menari bukan selalu tentang menjadi pusat
perhatian.
Sekembali
ke Jakarta pada semester dua kelas dua SMP membuat saya mengorbankan waktu
menari untuk les demi mengejar ketertinggalan pelajaran di SMP Jakarta. Terhitung
satu setengah tahun saya tidak menari, hingga saya lulus SMP dan masuk SMA.
Saya begitu senang dengan adanya ekstrakulikuler seni tari tradisional, dan
tentu saya menjadi angotanya. Perasaan senang luar biasa karena saya memiliki
tempat untuk mengekspresikan diri dan menari kembali. Latihan setiap hari Kamis
seusai pulang sekolah merupakan jadwal saya. Sampai saya ditunjuk untuk
mengikuti paglearan tari, kompetisi-kompetisi tari, hingga tampil menari
didepan presiden yang sewaktu itu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Berlatih
setiap hari seusai pulang sekolah hingga sore hari pun dilakukan dengan senang
hati, dan saya juga tetap menjaga nilai pelajaran saya tatap baik. Pujian,
piala, penghargaan, dan piagam saya dapatkan dalam menari. Namun tampil
bukanlah tujuan utama lagi, mengekspresikan diri dalam bentuk tarian,
membawakan sebuah cerita dengan baik dalam tarian merupakan tujuan saya.