Passion For Dance

6:04 PM

Menari mungkin merupakan hal yang identik bagi kaum wanita dengan lengak-lenggok dan gemulai tubuh. Saya mungkin tidak dapat dikategorikan sebagai penari, tapi menari sudah menjadi bagian hidup saya. Saya mulai menari sejak berusia lima tahun. Pada saat itu tarian yang ditampilkan ialah tarian untuk memeriahkan ibadah gereja, acara sekolah, dan acara 17an di komplek. Berdiri di depan banyak orang, menggunakan kostum yang mencolok, dan menjadi pusat perhatian, merupakan kesenangan dalam menari yang saya alami pada saat itu.
Pada kelas empat SD saya berpindah sekolah, yang salah satu mata pelajarannya ialah seni tari. Pelajaran ini merupakan pelajaran yang saya sangat senangi hingga saya lulus. Tari yang dipelajari merupakan tarian tradisional, yang sangat berbeda dengan tarian yang saya tekuni dahulu yaitu tarian modern. Tapi kesenangan saya pada dunia tari membuat saya berlatih sepenuh hati dan memiliki impian untuk menjadi instruktur tari pada olahraga bersama hari Jumat. Dengan berbangga hati saya tepilih menjadi instruktur tari ketika saya berada di kelas enam.
Setelah lulus SMP saya harus mengikuti orang tua pindah ke Jayapura, Papua karena pemindahan kerja. Hal ini merupakan penyesuaian yang sangat besar yang tentu berdampak dalam kehidupan saya. Salah satunya saya tidak punya tempat untuk menari. Sekolah tempat saya belajar tidak menyediakan pelajaran maupun ekstrakulikuler menari yang membuat kecewa. Hingga saya beribadah bersama keluarga digereja sekitar rumah, dan saya diminta untuk menari tamborin pada saat ibadah. Ini merupakan hal baru untuk saya, karena bukan hanya menggerakan tubuh sesuai irama namun juga harus menepuk tambourine yang disesuaikan dengan gerakan. Latihan membutuhkan waktu kuran lebih tiga bulan hingga akhirnya saya dinyatakan boleh tampil menari dalam ibadah. Kali ini pakaian yang saya kenakan tidak mencolok, dan tujuan saya bukannlah menjadi pusat perhatian, melainkan belajar melayani dan rendah hati dan tetap dalam perasaan senang yang sama dalam menari. Saya pun belajar bahwa menari bukan selalu tentang menjadi pusat perhatian.
Sekembali ke Jakarta pada semester dua kelas dua SMP membuat saya mengorbankan waktu menari untuk les demi mengejar ketertinggalan pelajaran di SMP Jakarta. Terhitung satu setengah tahun saya tidak menari, hingga saya lulus SMP dan masuk SMA. Saya begitu senang dengan adanya ekstrakulikuler seni tari tradisional, dan tentu saya menjadi angotanya. Perasaan senang luar biasa karena saya memiliki tempat untuk mengekspresikan diri dan menari kembali. Latihan setiap hari Kamis seusai pulang sekolah merupakan jadwal saya. Sampai saya ditunjuk untuk mengikuti paglearan tari, kompetisi-kompetisi tari, hingga tampil menari didepan presiden yang sewaktu itu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Berlatih setiap hari seusai pulang sekolah hingga sore hari pun dilakukan dengan senang hati, dan saya juga tetap menjaga nilai pelajaran saya tatap baik. Pujian, piala, penghargaan, dan piagam saya dapatkan dalam menari. Namun tampil bukanlah tujuan utama lagi, mengekspresikan diri dalam bentuk tarian, membawakan sebuah cerita dengan baik dalam tarian merupakan tujuan saya.

You Might Also Like

0 Comment

Popular Posts